
Dahulu kala, berita adalah hal yang serius. Ia disajikan dalam format yang panjang, mendalam, dan menuntut konsentrasi. Jurnalisme adalah sebuah profesi yang berfokus pada substansi, verifikasi, dan narasi yang terperinci. Namun, sebuah perubahan fundamental telah terjadi di lanskap media. Di era di mana video 15 detik di TikTok dan YouTube Shorts lebih berharga dari artikel 15 menit, “ekonomi atensi” telah menjadi kekuatan pendorong utama. Jurnalisme informatif, yang berfokus pada fakta dan konteks, kini berhadapan dengan jurnalisme yang berfokus pada “menarik perhatian.” Ini adalah pergeseran yang tidak hanya mengubah cara kita mengonsumsi berita, tetapi juga secara fundamental mengikis kemampuan pembaca untuk fokus dan berpikir kritis.
Artikel ini akan membahas secara komprehensif pergeseran dari jurnalisme informatif ke “jurnalisme atensi.” Kami akan membedah bagaimana platform seperti TikTok dan YouTube Shorts mengikis kemampuan pembaca untuk fokus dan berpikir kritis, menciptakan masyarakat yang haus akan sensasi, bukan substansi. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang komprehensif, mengupas berbagai perspektif, dan mengadvokasi kesadaran kritis serta penegasan kembali nilai dari jurnalisme yang berintegritas di era digital.
1. Dari Jurnalisme Informatif ke Jurnalisme Atensi: Pergeseran Paradigma Media
Jurnalisme informatif adalah model tradisional yang berfokus pada penyampaian fakta, konteks, dan analisis yang mendalam untuk membantu publik membuat keputusan yang terinformasi. Di sisi lain, “jurnalisme atensi” adalah model baru yang berfokus pada memproduksi konten yang dirancang untuk menarik perhatian (attention grabbing), bahkan jika itu berarti mengorbankan kedalaman atau konteks.
a. Jurnalisme Informatif: Mencari Kebenaran
- Fokus pada Fakta dan Konteks: Jurnalisme informatif berfokus pada pengumpulan fakta, verifikasi yang ketat, dan penyajian informasi dalam konteks yang komprehensif. Tujuannya adalah untuk membantu publik memahami isu-isu yang kompleks. Jurnalisme Informatif: Nilai dan Fungsi
- Format yang Panjang dan Mendalam: Format yang sering digunakan adalah artikel panjang, investigasi mendalam, atau dokumenter. Format ini membutuhkan konsentrasi dan waktu dari pembaca.
- Akuntabilitas dan Integritas: Jurnalisme informatif menjunjung tinggi prinsip-prinsip akuntabilitas dan integritas, yang merupakan fondasi dari pers yang bebas.
b. Jurnalisme Atensi: Berburu “Klik” dan “Engagement”
- Fokus pada Sensasi dan Emosi: Jurnalisme atensi berfokus pada konten yang memicu sensasi, emosi, dan reaksi yang kuat. Alih-alih fakta, narasi yang dramatis, kontroversial, atau emosional lebih dihargai karena dapat menghasilkan engagement yang lebih tinggi.
- Format Pendek dan Cepat: Format yang mendominasi adalah video pendek (15-60 detik), headline yang sensasional (clickbait), atau postingan media sosial yang emosional. Jurnalisme Atensi: Bahaya dan Dampaknya
- Algoritma sebagai Pendorong: Algoritma AI di platform media sosial adalah pendorong utama dari jurnalisme atensi. Algoritma ini dirancang untuk memaksimalkan engagement dan waktu tonton, dan mereka telah “belajar” bahwa konten yang memicu emosi kuat adalah yang paling efektif dalam mencapai tujuan ini. Algoritma Media Sosial dan Dampak pada Konsumsi Berita
2. Video Pendek: Mengikis Kemampuan Berpikir Kritis
Dominasi video pendek di platform media sosial memiliki dampak yang sangat signifikan pada kognisi dan kemampuan berpikir kritis kita. Otak kita, yang sangat plastis, beradaptasi dengan format konten yang kita konsumsi, dan format video pendek melatih otak untuk hal-hal yang fatal bagi pemikiran kritis.
a. Hilangnya Kemampuan Berfokus dan Konsentrasi
- Pemuasan Instan (Instant Gratification): Video pendek melatih otak untuk mencari pemuasan instan. Otak kita terbiasa dengan rangsangan yang cepat dan terus-menerus, dan menjadi tidak sabar dengan konten yang panjang dan menuntut konsentrasi. Pemuasan Instan: Dampak pada Kognisi Manusia
- Durasi Perhatian yang Menurun: Riset psikologis menunjukkan bahwa konsumsi video pendek secara masif dapat secara signifikan menurunkan durasi perhatian (attention span). Kita menjadi kesulitan untuk fokus pada satu tugas dalam waktu yang lama, yang merupakan hal fundamental untuk membaca, belajar, dan berpikir kritis.
- Toleransi terhadap Ambiguitas dan Kompleksitas yang Menurun: Jurnalisme informatif seringkali membahas isu-isu yang kompleks dan ambigu. Video pendek, dengan formatnya yang terbatas, cenderung menyederhanakan isu-isu ini. Otak kita, yang terbiasa dengan konten yang sederhana, kehilangan kemampuan untuk menghadapi kompleksitas atau ambiguitas, yang merupakan prasyarat untuk berpikir kritis. Dampak Video Pendek pada Kognisi dan Konsentrasi
b. Hilangnya Kapasitas untuk Bernalar Kritis
- Fokus pada Sensasi, Bukan Substansi: Jurnalisme atensi, yang berfokus pada sensasi, secara halus melatih kita untuk menghargai konten yang emosional di atas konten yang substantif. Kita menjadi konsumen pasif yang haus akan rangsangan, bukan pemikir aktif yang haus akan pengetahuan.
- Krisis Konteks: Video pendek seringkali menghilangkan konteks yang krusial untuk memahami sebuah isu. Tanpa konteks, sulit bagi kita untuk berpikir kritis, karena kita tidak memiliki gambaran yang lengkap. Kita hanya mendapatkan “potongan-potongan” informasi yang terfragmentasi.
- Penguatan Bias Kognitif: Algoritma AI yang mempersonalisasi konten akan memperkuat bias kognitif kita. AI akan menunjukkan kita video-video yang mengkonfirmasi pandangan kita, yang pada akhirnya akan membuat kita semakin yakin bahwa pandangan kita adalah satu-satunya kebenaran. Ini membunuh kemampuan kita untuk mempertanyakan diri sendiri dan pandangan orang lain. Bias Kognitif di Media Sosial: Mengapa Kita Mudah Termakan Hoaks?
3. Masyarakat yang Haus Sensasi, Bukan Substansi: Dampak pada Demokrasi
Pergeseran ini memiliki dampak yang sangat serius pada masyarakat dan demokrasi. Jika publik tidak lagi mampu untuk fokus dan berpikir kritis, fondasi dari demokrasi akan terkikis.
- Krisis Kepercayaan Publik: Jurnalisme atensi yang berfokus pada sensasi, yang seringkali menggunakan clickbait atau narasi yang dilebih-lebihkan, mengikis kepercayaan publik pada media. Jika publik tidak lagi percaya pada media, mereka akan lebih mudah termakan hoaks dan teori konspirasi.
- Penyebaran Disinformasi yang Tak Terbendung: Di era video pendek, hoaks dan disinformasi dapat menyebar dengan kecepatan yang tak tertandingi. Konten yang memicu emosi kuat akan menjadi viral, tanpa ada waktu untuk verifikasi. Ini menciptakan lingkungan yang ideal untuk propaganda dan manipulasi. Disinformasi dan Hoaks dalam Format Video Pendek
- Polarisasi yang Ekstrem: Pergeseran ini memperparah polarisasi sosial dan politik. Jurnalisme atensi, yang berfokus pada narasi yang memecah belah, menciptakan echo chambers yang membuat individu semakin terisolasi dalam pandangan mereka sendiri. Polarisasi Digital: Peran Algoritma Media Sosial
- Ancaman terhadap Demokrasi: Demokrasi bergantung pada warga yang terinformasi dan mampu membuat keputusan yang rasional. Jika publik hanya mengonsumsi konten yang dangkal, emosional, dan tidak substantif, maka kualitas perdebatan publik akan menurun, yang pada akhirnya mengancam fondasi demokrasi. Dampak Video Pendek pada Kualitas Demokrasi
4. Mengadvokasi Kedaulatan Atensi: Jalan Menuju Masyarakat yang Kritis
Untuk menghadapi ancaman “ekonomi atensi” ini, diperlukan advokasi kuat untuk kedaulatan atensi dan pendidikan yang membekali masyarakat dengan alat-alat untuk berpikir kritis.
- Edukasi Literasi Media dan Kritis: Investasi masif dalam edukasi literasi media dan etika adalah benteng pertahanan paling kuat. Masyarakat harus dididik untuk mengenali jurnalisme atensi, membedakan fakta dari fiksi, dan secara sadar mengelola konsumsi media mereka. Literasi Media Digital: Kunci Melawan Disinformasi
- Kesadaran Kritis: Mendorong individu untuk secara sadar dan sengaja melatih kemampuan fokus dan konsentrasi mereka. Ini bisa berupa membaca buku panjang, menonton dokumenter, atau terlibat dalam diskusi yang mendalam.
- Dukungan untuk Jurnalisme Berintegritas: Mendukung media massa yang independen dan berfokus pada jurnalisme investigasi yang berkualitas adalah hal yang krusial. Konsumen harus bersedia membayar untuk konten berkualitas, karena kebenaran bukanlah komoditas yang gratis.
- Regulasi yang Mendukung, Bukan Membatasi: Pemerintah perlu merumuskan regulasi yang mendukung jurnalisme berkualitas, tanpa membatasi kebebasan berekspresi. Regulasi harus berfokus pada akuntabilitas platform terhadap disinformasi dan ujaran kebencian. Pew Research Center: How Americans View AI (General Context)
Mengadvokasi kedaulatan atensi adalah perjuangan untuk memastikan bahwa kita adalah pemikir yang berdaya, bukan sekadar konsumen yang pasif.
Kesimpulan
Pergeseran dari jurnalisme informatif ke “jurnalisme atensi” adalah sebuah paradoks modern. Di era di mana video 15 detik lebih berharga dari artikel 15 menit, algoritma streaming secara fundamental mengikis kemampuan pembaca untuk fokus dan berpikir kritis, menciptakan masyarakat yang haus akan sensasi, bukan substansi.
Namun, di balik narasi-narasi yang memukau tentang kebangkitan produk lokal, tersembunyi kritik tajam yang mendalam, sebuah gugatan yang menggantung di udara: apakah pergeseran ini berkelanjutan, dan mampukah ia secara fundamental mengubah struktur ekonomi domestik? Artikel ini akan menganalisis secara komprehensif fenomena pergeseran preferensi konsumen di Indonesia, dari yang tadinya gencar belanja produk impor kini kembali menyoroti produk lokal. Kami akan membedah faktor pemicu (sentimen nasionalisme, kualitas produk lokal yang meningkat, kebijakan pemerintah) dan dampaknya pada ekonomi domestik. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang komprehensif, mengupas berbagai perspektif, dan mengadvokasi jalan menuju ekonomi yang lebih kuat, mandiri, dan berdaulat.
Oleh karena itu, ini adalah tentang kita: akankah kita secara pasif menyerahkan atensi kita kepada algoritma, atau akankah kita secara proaktif mengambil kembali kendali? Sebuah masa depan di mana kita menghargai substansi di atas sensasi, dan berpikir kritis di atas pemuasan instan—itulah tujuan yang harus kita kejar bersama, dengan hati dan pikiran terbuka, demi kedaulatan informasi dan demokrasi yang sejati. Masa Depan Jurnalisme di Era Digital