Hantu di dalam Mesin: Siapa Pemilik Karya Seni Ciptaan AI?

Pada artikel sebelumnya, kita telah merayakan kedatangan AI sebagai muse kreatif baru, sebuah partner kolaboratif yang membuka cakrawala tak terbatas bagi seniman, musisi, dan penulis. Namun, di balik euforia inovasi ini, bersemayam sejumlah “hantu”—isu-isu pelik yang menghantui lanskap kreatif baru ini. Siapakah pemilik sah sebuah karya yang diciptakan oleh algoritma? Di mana batas antara inspirasi dan pencurian gaya algoritmik? Dan apa arti “otentisitas” ketika sebuah mahakarya dapat direplikasi dalam sekejap? Inilah saatnya kita membedah hantu-hantu di dalam mesin: isu pelik hak cipta, gaya, dan otentisitas di era seni yang dihasilkan AI.

1: Pertanyaan Hak Cipta – Siapakah Sang Pencipta?

Inti dari masalah ini terletak pada pertanyaan yang tampaknya sederhana namun secara hukum sangat rumit: jika AI menciptakan sebuah gambar, siapa yang memegang hak ciptanya? Hukum hak cipta di seluruh dunia dibangun di atas fondasi kepengarangan manusia. Ketika mesin masuk ke dalam persamaan, fondasi itu berguncang. Ada tiga kandidat utama untuk kepemilikan, dan masing-masing memiliki masalah fundamental.

  • Pengguna (The Prompt Engineer): Argumennya adalah pengguna yang memberikan instruksi, visi, dan percikan kreatif. Namun, preseden hukum mulai terbentuk yang menentang hal ini. Dalam kasus “Zarya of the Dawn”, sebuah buku komik yang ilustrasinya dibuat dengan Midjourney, Kantor Hak Cipta Amerika Serikat memutuskan bahwa meskipun teks dan penyusunan buku tersebut dilindungi, gambar-gambar individual yang dihasilkan AI tidak dapat diklaim hak ciptanya oleh sang seniman, Kristina Kashtanova. Logikanya, pengguna tidak memiliki kendali penuh atas output AI, sehingga tidak dapat dianggap sebagai “pengarang” dalam pengertian tradisional. Posisi mereka lebih mirip seseorang yang menugaskan seorang seniman, bukan seniman itu sendiri.
  • Pengembang AI (The AI Developer): Perusahaan seperti OpenAI atau Stability AI membangun model yang menjadi “kuas” dan “kanvas”. Namun, mereka tidak terlibat dalam pembuatan karya-karya spesifik. Mengklaim hak cipta atas setiap gambar yang dihasilkan akan serupa dengan produsen kamera Canon mengklaim kepemilikan setiap foto yang diambil dengan kamera mereka—sebuah hal yang absurd.
  • AI Itu Sendiri (The AI Itself): Secara teknis, AI-lah yang melakukan proses “penciptaan” gambar. Namun, hukum saat ini secara eksplisit menyatakan bahwa hanya manusia yang dapat menjadi pemegang hak cipta. Seekor monyet yang mengambil swafoto (kasus “monkey selfie”) pun tidak dapat memegang hak cipta, apalagi sebuah algoritma.

Akibat dari kebuntuan hukum ini, status default untuk karya yang murni dihasilkan AI di banyak yurisdiksi adalah ia langsung jatuh ke domain publik. Ini menciptakan sebuah paradoks besar: sebuah alat yang dirancang untuk kreativitas tak terbatas justru menghasilkan karya-karya yang tidak memiliki perlindungan hukum sama sekali, sebuah tantangan besar bagi perspektif hukum teknologi dan mendesak adanya kebutuhan regulasi AI yang jelas.

2: Hantu Gaya – Peniruan, Penghormatan, atau Pencurian Algoritmik?

Jika masalah isu hak cipta AI adalah masalah hukum yang abstrak, isu gaya artistik adalah pertarungan yang sangat personal dan emosional bagi para seniman. Model AI generatif dilatih menggunakan miliaran gambar yang diambil dari internet, seringkali tanpa izin atau kompensasi kepada para seniman asli. AI tidak hanya belajar tentang “kucing” atau “pohon”, tetapi juga tentang “gaya Van Gogh” atau, yang lebih problematis, “gaya ”.

Apakah ini berbeda dari seorang seniman muda yang belajar dengan meniru karya para maestro? Perbedaannya terletak pada skala, kecepatan, dan niat. Seorang manusia belajar untuk memahami prinsip-prinsip dasar, lalu mengembangkan gayanya sendiri. Sebaliknya, AI mereplikasi penanda stilistika secara matematis dan dapat melakukannya dalam skala industri. Seorang seniman mungkin membutuhkan satu dekade untuk menguasai gayanya; AI dapat menirunya dalam hitungan detik.

Dampaknya menghancurkan bagi seniman yang masih hidup. Nama mereka, yang merupakan merek dagang dari kualitas dan kerja keras selama bertahun-tahun, kini menjadi sekadar perintah teks (prompt) yang dapat digunakan siapa saja untuk menghasilkan karya tiruan tak terbatas. Hal ini memicu gelombang perlawanan, termasuk gugatan hukum yang dilayangkan oleh sekelompok seniman seperti Sarah Andersen, Kelly McKernan, dan Karla Ortiz terhadap platform AI. Sebagaimana dilaporkan oleh The Verge tentang gugatan hukum para seniman, mereka menuduh perusahaan-perusahaan AI telah melanggar hak cipta jutaan seniman dengan menggunakan karya mereka dalam isu dataset pelatihan tanpa izin. Ini adalah inti dari dilema etika AI dalam kontroversi seni AI saat ini.

3: Krisis Otentisitas – Apa Arti “Asli” di Era Sintetis?

Lebih dari sekadar hukum dan etika, AI memaksa kita untuk bertanya ulang tentang nilai seni itu sendiri. Apa arti “asli”? Filsuf Walter Benjamin, dalam esainya yang terkenal “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”, memperkenalkan konsep “aura”—kehadiran unik sebuah karya seni dalam ruang dan waktu, sejarahnya, dan jejak tangan sang seniman. Sebuah lukisan asli memiliki aura yang tidak dimiliki oleh poster reproduksinya.

Karya seni AI, yang dapat dihasilkan dalam jumlah tak terbatas dan tanpa proses fisik yang unik, secara inheren menantang konsep aura ini. Kita tidak hanya menghargai sebuah karya karena hasil akhirnya, tetapi juga karena proses manusia di baliknya: perjuangan kreatif, tahun-tahun latihan, niat, dan cerita sang seniman. AI memintas semua ini.

Lantas, apakah semua karya AI tidak otentik? Belum tentu. Otentisitas di era sintetis ini mungkin perlu didefinisikan ulang. Ia mungkin tidak lagi terletak pada medium atau proses teknis, melainkan pada kedalaman niat dan keterlibatan manusia. Sebuah karya AI yang dihasilkan dari prompt sederhana (“kucing astronot”) memiliki tingkat otentisitas yang berbeda dengan karya AI yang merupakan bagian dari proyek konseptual mendalam, yang melibatkan kurasi data bertahun-tahun, visi artistik yang jelas, dan kolaborasi manusia-AI yang intens. Di sinilah letak aspek filosofis AI yang paling menantang.

4: Menuju Jalan Keluar: Mencari Keseimbangan di Tengah Kekacauan

Kekacauan hukum dan etika ini tidak akan terselesaikan dengan sendirinya. Diperlukan pendekatan multi-cabang untuk mencari jalan ke depan:

  • Adaptasi Hukum: Legislasi hak cipta harus segera beradaptasi. Beberapa usulan mencakup pembentukan kategori hak cipta baru untuk “karya yang dibantu AI” dengan perlindungan yang lebih terbatas, atau mandat yang mewajibkan transparansi dataset pelatihan.
  • Solusi Teknis: Para peneliti dan seniman mengembangkan alat seperti Glaze dan Nightshade, yang dirancang untuk “meracuni” atau “menyelubungi” gambar digital sehingga AI tidak dapat meniru gaya seniman secara efektif saat data tersebut diambil.
  • Platform yang Bertanggung Jawab: Perusahaan AI memiliki prinsip tanggung jawab AI untuk membangun model mereka di atas dataset yang etis dan berlisensi, serta menyediakan alat bagi seniman untuk meminta karya mereka dihapus atau tidak digunakan untuk pelatihan.
  • Pendidikan dan Kesadaran: Publik perlu dididik untuk memahami perbedaan antara berbagai jenis seni AI dan untuk terus menghargai nilai, keterampilan, dan kerja keras seniman manusia.

Kesimpulan

Hantu-hantu di dalam mesin ini nyata. Isu hak cipta, pencurian gaya, dan krisis otentisitas adalah tantangan-tantangan fundamental yang akan menentukan masa depan industri kreatif. Menyelesaikannya bukanlah tugas yang mudah; ia memerlukan dialog yang berkelanjutan antara para seniman, teknolog, ahli hukum, dan pembuat kebijakan. Tujuannya bukanlah untuk menghentikan laju inovasi, tetapi untuk mengarahkannya menuju masa depan di mana teknologi memberdayakan dan memperkaya kreativitas manusia, bukan mendevaluasi atau menggantikannya.

-(G)-

Tinggalkan Balasan

Pinned Post

View All